Utada Lovers

Utada Lovers

Jumat, 19 Oktober 2012

KODE ETIK JURNALISTIK



BAB I
KEPRIBADIAN DAN INTEGRITAS

Pasal 1


Wartawan Indonesia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila , taat kepada Undang-Undang Dasar Negara, Ksatria, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi pada kepentingan bangsa dan negara serta terpecaya dalam mengemban profesinya.

Pasal 2

Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan berita, tulisan atau gambar, yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan dan keyakinan suatu golongan yang dilindumgi oleh Undang-undang.

Pasal 3

Wartawan Indonesia tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang menyesatkan, memutarbalikkan fakta, bersifat fitnah, cabul, sadis dan sensasi berlebihan.

Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu pihak.


KODE ETIK JURNALISTIK
BAB II
CARA PEMBERITAAN

Pasal 5


Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta mencampuradukkan fakta dan opini sendiri. Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.

Pasal 6
Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang merugikan nama baik atau perasaan susila seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum.

Pasal 7

Wartawan Indonesia dalam pemberitaan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran hukum dan atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang.

Pasal 8

Wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila tidak menyebut nama dan identitas korban. Penyebutan nama dan identitas pelaku kejahatan yang masih dibawah umur, dilarang.

Pasal 9

Wartawan Indonesia menulis judul yang mencerminkan isi berita.


KODE ETIK JURNALISTIK
BAB III
SUMBER BERITA


Pasal 10

Wartawan Indonesia menempuh cara yang sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan berita, gambar, atau tulisan dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber berita.

Pasal 11

Wartawan Indonesia dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat, dan memberi kesempatan hak jawab serta proporsional kepada sumber dan atau obyek berita.

Pasal 12

Wartawan Indonesia meneliti kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita.

Pasal 13

Wartawan Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip berita, tulisan, atau gambar tanpa menyebut sumbernya.

Pasal 14

Wartawan Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk tidak disebut nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta dan data bukan opini.
Apabila nama dan identitas sumber berita tidak disebutkan, segala tanggung jawab ada pada wartawan yang bersangkutan.

Pasal 15

Wartawan Indonesia menghormati ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita tidak dimasukkan sebagai bahan berita serta atas kesepakatan dengan sumber berita tidak menyiarkan keterangan off the record.


KODE ETIK JURNALISTIK
BAB IV
KEKUATAN KODE ETIK JURNALISTIK


Pasal 16

Wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa penataan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing.

Pasal 17

Wartawan Indonesia mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI.
Tidak satu pihak pun di luar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasarkan pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini.


KODE ETIK JURNALISTIK
KODE ETIK AJI
(ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN)

Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen.
Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo.
Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya.
Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan seksual.
Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan.
Catatan: yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang dan atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik.
Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.

Sumber :

www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/uu_pers/kode_etik_aji.htm

SEJARAH JURNALISTIK DI INDONESIA


                                               SEJARAH JURNALISTIK DI INDONESIA


Sejarah jurnalistik di Indonesia tidak luput dari sejarah jurnalistik dunia begitupun dengan perkembangan jurnalistik di Indonesia yang tidak luput dari perkembangan Jurnalistik di dunia. Berdasarkan sejarah, jurnalistik Indonesia sibagi menjadi 3 golongan, yaitu:


1. Pers Kolonial
Pers kolonial merupakan pers pertama yang dibangun oleh orang-orang Belanda dan pers ini dibangun oleh orang-orang Belanda yang berada di Indonesia. Pada abad ke-18 muncullah surat kabar yang berjudul Bataviasche Nouvellesd dan sejak saat itu bermunculan surat kabar lainnya yang mendukung kaum kolonialis.

2. Pers Cina
Berkembangnya pers di Indonesia tak luput dari pengaruh orang-orang cina dan muncul surat kabar yang dibuat oloeh orang cina yang bertujuan untuk menjadi wadah pemersatu KETURUNAN Tionghoa di Indonesia.

3. Pers Nasional
Pers Nasional muncul pada abad ke-20 di Bandung dengan nama Medan Priayi. Media yang dibuat oleh Tirto Hadisuryo atau Raden Djikomono, diperuntukan sebagai alat perjuangan pergerakan kemerdekaan dan Tirto Hadisuryo akhirnya dianggap sebagai pelopor peletak dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia.

Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan (penghentian masa siar) media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini dan kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia. Hal inilah yang kemudian memunculkanAlinsi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih dan beberapa dari aktivisnya dimasukkan ke penjara.Titik kebebasan pers mulai terasa kembali saat BJ Habibie menggantikan Soeharto dan hal ini diterima dengan suka cita. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.Kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang dikeluarkan Dewan Pers dan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia.


Sumber :   http://icrp-online.org/042012/post-1891.html

SEJARAH JURNALISTIK DI DUNIA

SEJARAH JURNALISTIK DI DUNIA Sejarah jurnalistik dunia dimulai pada jaman Romawi kuno. Pada masa pemerintahan Julius Caesar (100-44). Pada saat itu, terdapat acta diurna yang memuat semua hasil sidang, peraturan baru, keputusan-keputusan senat dan berbagai informasi penting yang ditempel di sebuah pusat kota yang disebut Stadion Romawi atau "Forum Romanium". Kata diurma sendiri berarti harian atau setiap hari, dan acta yang berarti catatan. Kata-kata ini kemudian berkembang menjadi journal (jurnal) yang berarti catatan. Journal menjadi dasar dari kata jurnalistik atau journalism yang kita kenal hingga sekarang. Di kawasan Eropa tidak jelas siapa pelopor pertamanya. Namun, pada 1605; Abraham Verhoehn di Antwerpen Belgia yang mendapat ijin mencetak Niewe Tihdininghen. Akhirnya, pada 1617, selebaran ini dapat terbit 8 hingga 9 hari sekali. Beranjak ke Jerman, di tahun 1609, terbitlah surat kabar pertama bernama Avisa Relation Order Zeitung. Pada 1618, muncul surat kabar tertua di Belanda bernama Coyrante uytltalien en Duytschland. Surat kabar ini diterbitkan oleh Caspar VanHilten di Amsterdam. Kemudian surat kabar mulai bermunculan di Prancis tahun 1631, di Italia tahun 1636 dan Curant of General newsterbit, surat kabar pertama di Inggris yang terbit tahun 1662. Dalam sejarah Islam, seperti dikutip Kustadi Suhandang (2004), cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan. Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal. Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia. Sumber : http://firahqueen.blogspot.com/2012/10/sejarah-jurnalistik-di-dunia.html

Minggu, 14 Oktober 2012

SEORANG MODEL TABRAK LARI DI BAWAH PENGARUH OBAT TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Novi Amilia (25) ternyata pernah menjalani perawatan kejiwaan beberapa tahun yang lalu. Hal tersebut disampaikan oleh Kuasa Hukumnya Chris Sam Sewu. "Novi pernah berobat menjalani pemeriksaan kejiwaan beberapa tahun lalu,"ujar Chris kepada wartawan di RS Polri Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur, (14/10/2012). Chris menambahkan, Novi yang memulai karirnya sebagai model di tahun 2004 tersebut juga pernah beberapa kali bertanya-tanya ke psikiater, namun Chris tidak mengetahui kapan persis kliennya tersebut menjalani perawatan kejiwaan. "Beberapa tahun lalu setelah jadi model, Novi pernah bertanya-tanya ke psikiater," imbuhnya. Sebelumnya dalam pemeriksaan polisi, Novi sempat mengaku adanya bisikan yang menyuruhnya untuk melepaskan pakaian. Chris menambahkan, jika saat ini bisikan-bisikan yang kerap dialami oleh Novi tersebut masih ada. "Bisikan itu masih ada tapi sudah tidak begitu menganggulah,"imbuh dia. Saat ditanya apakah kliennya Novi pernah mengalami pelecehan sexual, Chis menjawab tidak pernah. "Tidak ada pelecahan sexual, yang ada menurutnya hanya bisikan-bisikan itu saja,"terang dia.

Selasa, 09 Oktober 2012

DEFINITION Of TOURISM And TRAVEL Tourism is a social, cultural and economic phenomenon which entails the movement of people to countries or places outside their usual environment for personal or business/professional purposes. These people are called visitors (which may be either tourists or excursionists; residents or non-residents) and tourism has to do with their activities, some of which imply tourism expenditure. As such, tourism has implications on the economy, on the natural and built environment, on the local population at the destination and on the tourists themselves. Due to these multiple impacts, the wide range and variety of production factors required to produce those goods and services acquired by visitors, and the wide spectrum of stakeholders involved or affected by tourism, there is a need for a holistic approach to tourism development, management and monitoring. This approach is strongly recommended in order to formulate and implement national and local tourism policies as well as the necessary international agreements or other processes in respect of tourism. Business visitor A business visitor is a visitor whose main purpose for a tourism trip corresponds to the business and professional category. Country of reference The country of reference refers to the country for which the measurement is done. As a general observation, it should be noted that in the International Recommendations 2008: (a) The term “country” can be transposed to a different geographical level using the term “place” instead (either a region, municipality or other subnational geographic location); (b) The term “long-term” is used as the equivalent of a year or more and “short-term” as less than a year. Country of residence The country of residence of a household is determined according to the centre of predominant economic interest of its members. If a person resides (or intends to reside) for more than one year in a given country and has there his/her centre of economic interest (for example, where the predominant amount of time is spent), he/she is considered as a resident of this country. Destination (main destination) of a trip The main destination of a tourism trip is defined as the place visited that is central to the decision to take the trip. See also purpose of a tourism trip. Domestic tourism Comprises the activities of a resident visitor within the country of reference, either as part of a domestic tourism trip or part of an outbound tourism trip. Economic analysis Tourism generates directly and indirectly an increase in economic activity in the places visited (and beyond), mainly due to demand for goods and services that need to be produced and provided. In the economic analysis of tourism, one may distinguish between tourism’s ‘economic contribution’ which refers to the direct effect of tourism and is measurable by means of the TSA, and tourism’s ‘economic impact’ which is a much broader concept encapsulating the direct, indirect and induced effects of tourism and which must be estimated by applying models. Economic impact studies aim to quantify economic benefits, that is, the net increase in the wealth of residents resulting from tourism, measured in monetary terms, over and above the levels that would prevail in its absence. Employment in tourism industries Employment in tourism industries may be measured as a count of the persons employed in tourism industries in any of their jobs, as a count of the persons employed in tourism industries in their main job, as a count of the jobs in tourism industries, or as full-time equivalent figures. Excursionist (or same-day visitor) A visitor (domestic, inbound or outbound) is classified as a same-day visitor (or excursionist) if his/her trip does not include an overnight stay. Forms of tourism There are three basic forms of tourism: domestic tourism, inbound tourism, and outbound tourism. These can be combined in various ways to derive the following additional forms of tourism: internal tourism, national tourism and international tourism. Inbound tourism Comprises the activities of a non-resident visitor within the country of reference on an inbound tourism trip. Internal tourism Internal tourism comprises domestic tourism plus inbound tourism, that is to say, the activities of resident and non-resident visitors within the country of reference as part of domestic or international tourism trips. International tourism International tourism comprises inbound tourism plus outbound tourism, that is to say, the activities of resident visitors outside the country of reference, either as part of domestic or outbound tourism trips and the activities of non-resident visitors within the country of reference on inbound tourism trips. Meetings industry To highlight purposes relevant to the meetings industry, if a trip’s main purpose is business/professional, it can be further subdivided into “attending meetings, conferences or congresses, trade fairs and exhibitions” and “other business and professional purposes”. The term meetings industry is preferred by the International Congress and Convention Association (ICCA), Meeting Professionals International (MPI) and Reed Travel over the acronym MICE (Meetings, Incentives, Conferences and Exhibitions) which does not recognize the industrial nature of such activities.